Semua Berakar dari Pikiran Kita

Aku akan menceritakan suatu kisah, bukan sejarah juga bukan rasan-rasan orang lain, tatapi fenomena yang ku alami sendiri. Berawal dari renungan ku selami dari setiap gejala yang menghantui hingga membuat senang. 

Lebih tepatnya akhir-akhir ini setelah aku mulai membuka dan belajar Al-Qur'an, bukan belajar mengeja atau melafalkan yang tepat maupun sejarah dan ilmu tentangnya yang terkandung dalam metodologi studi Al-Qur'an. Melainkan bagaimana Al-Qur'an belajar ku mengerti dan pahami dalam konteks sosial kehidupan ku pribadi. 

Berkenaan hal itu, aku flashback di tahun 2015, waktu itu saya sedang berusaha mendalami Tasawuf, sebagaimana jurusan saya tatkala menempuh pendidikan strata 1 di IAIN Tulungagung. Tasawaf sendiri pahami saya ialah cara seseorang dalam mendekatkan diri kepada Allah. Banyak disinggung dalam perkuliahan juga bahwa ada beragam jalan seseorang dalam menempuhnya, dan itupun memunculkan beragam ekspresi beribadah, beragama maupun keorganisasian yang ada. 

Konteks tasawuf dalam perkuliahan banyak disinggung dengan Tarekat dan suluk. Tarekat dan suluk menjadi tawaran dalam menjalankan tawasuf, sebab di dalamnya ada beberapa ritus dan guru yang saya paham jelas, sanad dan matannya serta tersambungnya dengan ajaran Nabi Muhammad Saw. 

Memiliki pemahaman tersebut, saya pun berangkatkat observasi bagaimana ajaran tasawuf dibeberapa pondok tarekat dan perkumpulannya. Karena yang saya ikuti dalam hal ini tidak hanya satu, saya memiliki kebimbangan dalam memilih jalur ini. 

Suatu ketika ada teman yang menyapa ku dan mengajak untuk bergabung dalam forumnya. Sebelum berangkat saya kira, ada pembaitan atau ritual apa gitu, ternyata bukan demikian. Sang guru malah menyarankan saya untuk memahami Al-Qur'an langsung. 

Memahami Al-Qur'an secara langsung membuat aku pada awalnya agak bimbang. Semakin lama ku baca mulai kacau pikiran ini, kacaunya bukan karena ayatnya atau gimananya ya. Melainkan saya merasa banyak tersinggung, lantaran begitu banyak yang ku sia-siakan dalam menjalankan kehidupan ini. 

Berangkat dari proses kesadaran tersebut, saya sempat minder bahwa diri ini banyak melakukan dosa yang dianggap remeh tetapi besar. Tapi sang guru tersubut bilang, ketika seseorang membaca Al-Qur'an dengan niat untuk memahaminya, gurunya ialah Allah. Hal ini sebagai mana yang tertera dalam surat Al-Qiyamah. 

Berangkat dari proses penyelaman saya terhadap kitab suci umat muslim. Aku menemukan ada beberapa kesinambungan antara ayat Al-Qur'an dengan ilmu pengetahuan, terutama yang saya pelajari dalam perkuliahan yaitu berkenaan dengan ilmu sosial, filsafat dan beberapa dalam rumpun humaniora. 

Jika dalam kita pernah belajar bagaimana konsep tabularasa ala John Locke. Konsep tersebut mengingatkan kepada saya bahwa manusia terlahir suci bagaikan kertas kosong yang belum terisi. Kemudian isinya ialah kita sendiri yang mengisinya. 

Pemahaman berkenaan tabulatasa dalam benak, bahwa segala sesuatu tergantung kita. Entah kita melangkah akan berbenturan dengan lingkungan sekitar maupun orang lain atau kita menjadi diri kita sendiri. Semua kembali pada diri kita. 

Hal ini dalam konsep Al-Qur'an banyak disinggung, namun yang paling aku ingat ialah suatu nasib yang berubah karena diri kita sendiri. Sebagaimana dalam Al-Qur'an 13:11 menyebut bahwa Sesungguhnya Allah tidak merubah  nasib suatu kaum apabila mereka tidak merubahnya sendiri".

Berangkat dari dua pemaham di atas pernah aku mencoba ketika mengahadapi suatu masalah. Masalah itu aku anggap gampang dan kurasa mudah untuk dijalani, Alhamdulillah lancar. Tapi suatu ketika aku juga bertanya kenapa hidup kok mudah, dari situ aku mencoba mempermasalahkan kehidupanku. 

Berangkat pemahaman serba menyalahkan keadaan membuat hidup ku serasa kacau. Ini serba salah dan itu salah, sempat saya menyendiri di dalam kamar selama seminggu karena guncangan itu. 

Saat guncangan dalam pikiran ku, saya sempatkah membaca sial kesaran palsu Kalt Marx terutama dalam interpretasi Slavoj Zizek. Dalam renungan terebut, menyebut bahwa kesadaran palsu itu suatu realitas kenyataan yang kita hadapi, bukan dogma maupun indeologi yang diperjual belikan untuk menghegemoni seseorang. 

Maka dari itu ku sadari, bahwa segala sesuatu kembali kepada kita dalam menghadapi fenomena dan permasalahan yang melanda diri kita. Baik buruk serta mudah dan  sulitnya masalah yang ku hadapi tergantung bagaimana aku menanggapinya. Tuhan kan tidak memikulkan beban kepada orang yang tidak kuat untuk memikulnya. 

Setiap masalah ialah ujian yang harus dihadapi. Sehingga kita benar-benar menjadi manusia yang berkualitas. 

Mungkin terlalu gejlek tulisan saya, namanya juga untuk refresing otak... []diunggah dari pixabuy.com

Komentar

Unknown mengatakan…
Hilih... semua kembali pada kita, tetapi bukan brati lingkungan menjadi hegemoni yang tak bisa dimunafikkan