Optimis dan Yakin Kunci Sukses Meraih Mimpi


Menonoton film Sang Pemimpi mengingatkan ku akan kenangan kecil. Kala masih duduk dibangku taman kanak-kanak, senyum ria bu Guru sambil bertanya, “ adek-adek kalau besar cita-citanya apa ?”. pertanyaan ibu Guru pada saat itu seakan mengajak kami untuk mengunjungi dunia mimpi yang tak berdasar kecuali yang sudah diimajinasikan olehnya.


Imajinasi yang kami peroleh saat itu ialah imajinasi yang diimajinasikan oleh ibu guru, karena pada waktu itu kami belum bisa memandang bagaimana mimpi dan memaknai apa yang dimaksud mimpi. Jawaban terbang layaknya pilot, mengajar seperti bu guru, maupun menjadi dokter agar dapat menolong orang sakit. Semua jawaban itu tidak salah, namun kurang tepat lantaran kami belum mengetahui, mimpi-mimpi itu ialah imajinasi bu guru kepada kami agar menjadi seseorang yang memiliki mimpi.
Mimpi-mimpi yang eksotis itu seakan ambyar ditelan waktu, sudah hampir 20 tahun lamannya, hampir tak ada yang tercapai cita-citanya saat itu. Begitu juga wakt SD, SMP hingga SMA. Tapi bukan berarti tidak memiliki cita-cita, lebih tepatnya ialah tidak sesuai dengan harapannya itu atau tidak konsisten dengan apa yang dibayangkan pada waktu itu.
Teman-teman ku kebanyakan realistis dalam menanggapi kehidupan ini, yang terpenting ialah apa yang dapat dihasilkan untuk menjalankan kehidupan yang keras. Begitu pun dengan aku, yang sejak kecil memiliki harapan besar untuk masuk dan berkuliah di Universitas Gajah Mada Yogyakarta, sebagaimana kampus top di Indonesia, namun sampai sekarang itu hanyalah mimpi.
Berbeda halnya yang diceritakan Andrea Hirata dalam film Sang Pemimpi, dalam film tersebut membukakan pikiranku akan arti sebuah mimpi. Mimpi bukanlah hal untuk dibual, bukan juga sekedar imajinasi anak TK. Melaikan harapan untuk diperjuangkan. Sebagaimana mimpi kakek nenek moyang Indonesia sebelum merdeka, mereka bermimpi ingin merdeka dengan segenap perjuangan hingga tetes darah penghabisan mereka mampu meraihnya, tak perduli walau raga dan nyawa sebagai taruhannya.
Hal ini dicontohkan oleh Haikal dan Arai dalam memperjuangkan mimpi mereka hingga kuliah di paris. Lika-liku kehidupan membentuk dua tokoh utama dalam film Sang Pemimpi. Tak luput jatuh bangun hingga harapan mulai jauh hampir hilang mewarnai perjuangan hidup.
Arai dan Haikal dua sosok berbeda saling menginspirasi dan mengisi. Arai yang sejak kecil memiliki andaian dan mimpi yang kuat. Sedang Haikal imajiner tapi tak sekuat Arai dalam mempertahankan keyakinannya. Haikal juga gampang goyah, was-was dan ragu menyelemuti, sepertihalnya tatkala dia kena hukuman kepala sekolah untuk memersihkan wc dan kejenuhannya kerja di kantor Pos.
Sikap Haikal berbanding terbalik dengan Arai yang senantiasa optimis dalam memandang kehidupannya. Meski rintangan menerkam mereka, dia selalu tabah dan terlihat bahwa impiannya ialah belum saatnya.
Sikap Arai dan Haikal dalam film ini ibarat manusia dalam dunia ini. Satu hidup dengan kehidupannya sendiri yaitu Arai yang selalu bisa menjadi apa yang dia pikirkan. Sedang Haikal menjadi manusia yang dikondisikan oleh lingkungan, ibarat air yang selalu mengalir dimana ada tempat yang rendah dan menyesuaikan lintasannya.
Beruntuk Haikal akrab dan dekat dengan Arai, yang mampu memberikan semangat kepadanya. Sehingga dia mampu berpikir jernih lagi dan bergerak dengan gairahnya. Juga tak diambang berpikir terhalang oleh keadaan yang tidak menentu dan berubah.
Arai ibarat hidup dalam mimpi, apa yang dipikirkan dia kerjakan. Sosok manusia sempurna yang berakal sebagaimana dalam firman-firman Tuhan tatkala menceritakan tentang manusia. Berpikir dengan akal, bergerak tulus dan lurus semua akan mendapat kemudahan, niscaya dengan keyakinan yang kuat semua akan tercapai.
Berpikir menjadi hidup layaknya filusuf modern yang memiliki cogito ergo sum (aku berpikir maka aku ada). Memang seseorang akan hilang termakan oleh buaian kehidupan tatkala mereka hanya berjalan dengan nafsu tanpa dibarengi denga akal, layaknya hewan dan tetumbuhan, makan, minum, kekuasaan dan hubungan seks. Nalar hewan yang menghantui kebanyaka orang dalam kehidupan ini.
Bukan berarti semua itu tidak butuh, hanya saja sesuai dengan kadarnya. Boleh kita butuh makan, minum, kekuasaan dan seks, namun itu bukanlah tujuan. Jika merujuk pada fiman Tuhan ialah manusia merupakan pemimpin di bumi, layaknya pemimpin dialah yang mengatur kehidupan di bumi, entah mau dijadikan apa. Baik atau buruk semua ialah pilihan yang akan memberikan resiko masing-masing, yang terpenting dapat mempertanggung jawabkannya.
Kata optimis menjadi penting dalam mengambil makna dari film berdurasi 2 jam 1 menit 26 detik. Awalnya sampai kehidupan sesudahan, mereka belum tau jalan yang harus mereka lalui. Belajar dan bekerja keraslah yang hari-hari mereka lakukan demi mengejar cita-cita mereka. Tuhan akan berbicara ketika optimis dalam pandang kita menjiwai hingga buluh nadih. Beasiswa pun mereka peroleh yang akan mengantarkan mereka menuju kota impian yaitu Paris.
Optimisme kadang ketara, namun banyak hilangnya, terutama ketika problematika kehidupan mulai menghadang. Mengutip para Motivator, sebagai manusia haruslah yakin dengan apa yang mereka usahakan. Begitu juga dengan firman Tuhan yang mengutuk sikap ragu-ragu, karena kehidupan ini segalanya mungkin, tinggal kapan itu dapat teralisasikan.
Saya jadi teringat waktu saya sering berlangganan majalah hand phone, yang isinya penuh dengan kualifikasi dan juga harga hp. Tepat tahun 2009 aku berdiskusi tentang hp dengan kawan ku yang meliki hp baru. Aku bercerita bahwa ada hp yang memiliki kapasistas memori 50 giga bite, teman-teman ku hanya tertawa dan bilang “ egk mungkin ada hp, ngipi lo”. Itu terjadi karena waktu memori microSD masih menjadi penunjang memori dalam hp, itupun maksimal 2 GB.
Faktanya setelah 10 tahun kemudia apa yang saya sampaikan terjadi juga. Bahkan memori yang dulu sebagai penunjang utama karena kapasitas ruangan yang banyak, sekarang malah hampir tak berguna lantaran banyak hp yang memiliki spesifikasi lebih dari 100 Gb.
Bukan masalah hp yang terpenting, terkait dengan Sang Pemimpi ialah keyakinan atau optimism. Kita dia ajak agar tidak takut dengan mimpi-mimpi dan ditunjukkan juga cara menggapai serta bagaimana ujiannya bagi seseorang yang memiliki mimpi. Namun sayang itu tidak diajarkan disekolah ku dulu.
Waktu sekolah mimpi hanyalah imajinasi yang dibuat oleh bapak ibu guru. Tanpa pengetahuan apa dan bagaimana mimpi itu. Sebagaimana yang saya ceritakan diawal, semestinya guru dibekali ilmu untuk menjadi seorang motivator. Sebab gerak dan apa yang diajarkan oleh guru sebenarnya sedikit banyak membentuk bayangan masa depan seseorang, sebagaimana yang dipikirkan oleh Haikal dan Arai, mereka tidak akan membayangkan dan termotivasi tanpa adanya pak Belia yang memberikan arahan kepada Haikal.
Peran orang tua malah banyak membentuk pikiran anak-anak terutama dalam memandang mimpi. Arai dari kejil hingga dewasa tetap memegang teguh ajaran orang tuanya agar tetap menjaga dan merai mimpi-mimpinya. Berbeda dengan realita kehidupan, seakan orang tua sudah cukup dengan menyekolahkan anaknya dan memberikan uang kepada mereka. Tanpa ada pengajaran yang berarti kepada anaknya, mereka fokus bagaimana besok harus makan.

Komentar